Bagaimana Luasnya Pemikiran Filsafat Al Ghazali, berikut ini adalah secara singkat ulasan pemikirannya

Assalamualaikum sobat catatanku. sobat pasti  ssangat tidak sabar untuk membaca mengenai imam Al-Ghazali, kami secara spesial menghadirkan bacaan ini untuk sahabat semua dalam seri ilmu pengetahuan..
Filsuf: Syaikh Imam Al-Ghazali


silahkan dibaca dengan seksama dan jangan lupa untuk menyertakan komentar jika ada yang ditanyakan, dan jangan lupa untuk share artikel ini agar  sahabt yang lain mengetahui betapa agungnya kisah hidup Syekh Imam Al-Ghazali..
..........

Imam Al-Ghazali adalah salahsatu Tokoh yang sangat Terkenal dengan pemikirannya dalam berbagai bidang keilmuan, seperti dalam science dan fisafat. salahsatu pemikiran yang palinfg terkenal dalam bidang filsafat ialah  tentang filsafat ilmu itu sendiri. untuk mengetahui bagaimana pemikirannya mari kita baca sampai selesai....

Mau dapat penghasilan Tambahan?? mulai 1.5 jt- 3 jt lebih/ Bulan..
T    Tanpa Modal, Tanpa Stok barang. Yuk gabung jadi Reseller Migunani Konveksi
i      Info lebih lanjut hub: 0823-1595-7684
      
reseller konveksi murah jogja



Biografi dan Pendidikannya

Nama asli Imam al-Ghazali ialah Muhammad bin Ahmad, Al-Imamul Jalil, Abu Hamid Ath Thusi Al-Ghazali. Lahir di Thusi daerah Khurasan wilayah Persia tahun 450 H (1058 M). 
Pekerjaan ayah Imam Ghazali adalah memintal benang dan menjualnya di pasar-pasar. Ayahnya termasuk ahli tasawuf yang hebat, sebelum meninggal dunia, ia berwasiat kepada teman akrabnya yang bernama Ahmad bin Muhammad Ar Rozakani agar dia mau mengasuh al-Ghazali. 
Maka ayah Imam Ghazali menyerahkan hartanya kepada ar-Rozakani untuk biaya hidup dan belajar Imam Ghazali.[1]Ia wafat di Tusia, sebuah kota tempat kelahirannya pada tahun 505 H (1111 M) dalam usianya yang ke 55 tahun.


Pada masa kecilnya ia mempelajari ilmu fiqh di negerinya sendiri pada Syekh Ahmad bin Muhammad Ar-Rozakani (teman ayahnya yang merupakan orang tua asuh al-Ghazali), kemudian ia belajar pada Imam Abi Nasar Al-Ismaili di negeri Jurjan. Setelah mempelajri beberapa ilmu di negerinya, maka ia berangkat ke Naishabur dan belajar pada Imam Al-Haromain. 
Di sinilah ia mulai menampakkantanda-tanda ketajaman otaknya yang luar biasa dan dapat menguasai beberapa ilmu pengetahuan pokok pada masa itu seperti ilmu mantiq (logika), falsafah dan fiqh madzhab Syafi’i. Karena kecerdasannya itulah Imam Al-Haromain mengatakan bahwa al-Ghazali itu adalah ”lautan tak bertepi...


Setelah Imam Al-Haromain wafat, Al-Ghazali meninggalkan Naishabur untuk menuju ke Mu’askar,[3]ia pergi ke Mu’askar untuk melakukan kunjungan kepada Perdana Mentri Nizam al Muluk dari pemerintahan Bani Saljuk. Sesampai di sana, ia disambut dengan penuh kehormatan sebagai seorang ulama besar. 
Semuanya mengakui akan ketinggian ilmu yang dimiliki al-Ghazali. Menteri Nizam al Muluk akhirnya melantik al-Ghazali pada tahun 484 H/1091 M. Sebagai guru besar (profesor) pada perguruan Tinggi Nizamiyah yang berada di kota Baghdad. Al-Ghazali kemudian mengajar di perguruan tinggi tersebut selama 4 (empat) tahun. Ia mendapat perhatian yang serius dari para mahasiswa, baik yang datang dari dekat atau dari tempat yang jauh, sampai akhirnya ia menjauhkan diri dari keramaian.




 Pemikiran Filsafat Al-Ghazali

a.      Metafisika

Untuk pertama kalinya Al-Ghazali mempelajari karangan-karangan ahli filsafat terutama karangan Ibnu Sina. Setelah mempelajari filsafat dengan seksama, ia mengambil kesimpulan bahwa mempergunakan akal semata-mata dalam soal ketuhanan adalah seperti mempergunakan alat yang tidak mencukupi kebutuhan. 

Al-Ghazali meneliti kerja para filsuf dengan metodenya yang rasional, yang mengandalkan akal untuk memperoleh pengetahuan yang meyakinkan, Tetapi hasil kajian ini mengantarkannya kepada kesimpulan bahwa metode rasional para filsuf tidak bisa dipercaya untuk memberikan suatu pengetahuan yang meyakinkan tentang hakikat / Ontologi sesuatu di bidang metafisika (ilahiyyat)/ ketuhanan.


b.     Iradat Tuhan

Mengenai kejadian alam dan dunia, Al-Ghazali berpendapat bahwa dunia itu berasal dari iradat (kehendak) tuhan semat-mata, tidak bisa terjadi dengan sendirinya. Iradat tuhan adalah mutlak, bebas dari ikatan waktu dan ruang, tetapi dunia yang diciptakan itu seperti yang dapat ditangkap dan dikesankan pada akal (intelek) manusia, terbatas dalam pengertian ruang dan waktu. 
Al-Ghazali menganggap bahwa tuhan adalah transenden, tetapi kemauan (Iradatnya) imanen di atas dunia ini, dan merupakan sebab hakiki dari segala kejadian.

Al-Ghazali seperti juga Al-Asy’ari berpendapat bahwa suatu peristiwa itu adalah iradat Tuhan, dan Tuhan tetap bekuasa mutlak untuk menyimpangkan dari kebiasaan-kebiasaan sebab dan akibat tersebut. Sebagai contoh, kertas tidak mesti terbakar oleh api, air tidak mesti membasahi kain. Semua ini hanya merupakan adat (kebiasaan) alam, bukan suatu kemestian. 

Terjadinya segala sesuatu di dunia ini karena kekuasaan dan kehendak Allah semata. Begitu juga dengan kasus tidak terbakarnya Nabi Ibrahim ketika dibakar dengan api. Mereka (filsup Aristoteles) menganggap hal itu tidak mungkin, kecuali dengan menghilangkan sifat membakar dari api itu atau mengubah diri (zat) Nabi Ibrahim menjadi suatu materi yang tidak bisa terbakar oleh api.


c.         Etika

Mengenai filsafat etika Al-Ghazali secara sekaligus dapat kita lihat pada teori tasawufnya dalam buku Ihya’ ‘Ulumuddin. 
Dengan kata lain, filsafat etika Al-Ghazali adalah teori tasawufnya itu. Mengenai tujuan pokok dari etika Al-Ghazali kita temui pada semboyan tasawuf yang terkenal “Al-Takhalluq Bi Akhlaqihi ‘Ala Thaqah al-Basyariyah, atau Al-Ishaf Bi Shifat al-Rahman ‘Ala Thaqah al-Basyariyah”. 
Maksudnya adalah agar manusia sejauh kesanggupannya meniru perangai dan sifat-sifat ketuhanan seperti pengasih, pemaaf, dan sifat-sifat yang disukai Tuhan, jujur, sabar, ikhlas dan sebagainya.


Pandangan Al-Ghazali terhadap Filsafat

Mengenai pandangan al Ghazali, para ilmuwan berpendapat bahwa ia bukan seorang filosof, karena ia menentang dan memerangi filsafat dan membuangnya. Tentangan yang di lontarkan al-Ghazali ini tercermin dari bukunya yang berjudul Tahafut al-Falasifah, yakni sebagai berikut :

”sumber kekufuran manusia pada saat itu adalah terpukau dengan nama-nama filsuf besar seperti Socrates, Epicurus, Plato, Aristoteles dan lain-lainnya ..., mereka mendengar perilaku pengikut filsuf dan kesesatannya dalam menjelaskan intelektualitas dan kebaikan prinsip-prinsipnya, ketelitian ilmu para filsuf di bidang geometri, logika, ilmu alam, dan telogi ..., mereka mendengar bahwa para filsuf itu mengingkari semua syari’at dan agama, tidak percaya pada dimensi-dimensi ajaran agama. Para filsuf menyakini bahwa agama adalah ajaran-ajaran yang disusun rapi dan tipu daya yang dihiasi keindahan ...”[14]


 Al-Ghazali dengan beberapa kali menyatakan, bahwa tujuan penyusunan buku tersebut untuk menghancurkan filsafat dan menggoyahkan kepercayaan orang terhadap filsafat.  

Dari sebab itulah akhirnya Al-Ghazali dianggap sebagai penyebab kemunduran filsafat. Sebenarnya, beliau dalam melakukan hal tersebut hanyalah bertujuan untuk menjauhkan kesucian dan kebersihan filsafat dari fikiran fikiran yang menyimpang seperti halnya filosof filosof besar yang telah ada sebelumnya.


Hakikat Ilmu dan Struktur Filsafat Ilmu Al-Ghazali

Dalam menentukan hakikat ilmu Al-Ghazali sependapat dengan gurunya, Al-Juwayni, yaitu bersifat nazari, yakni bahwa ilmu itu dihasilkan dari penalaran yang mendefinisikannya sangat sulit dan hanya bisa dikonsepsi dengan analisis/klasifikasi dan contoh.

Meskipun dalam hal ini ia mengikuti gurunya, tetapi konsep dasar yang melatarbelakanginya berbeda, yaitu mengenai hakikat “ada” yang membentuk konsepnya mengenai hubungan lafazh, makna, dan definisi.

Menurutnya, pengonsepsian hakikat ilmu lebih mudah dengan analisis/klasifikasi untuk memperoleh makna formal, dan dengan contoh untuk memperoleh makna esensial. 
Dengan analisis, ilmu berbeda dengan iradah (kehendak), qudrah (kemampuan) dan sifat jiwa lain, dan berbeda dengan i’tiqĆ¢d (presuposisi), zann (dugaan kuat), syak (skeptik), jahl (ketidaktahuan) dan berbeda dengan apa yang diperoleh bukan dengan pembuktian dan berawal dari skeptik. 

(Baca Juga Bahasan tentang filsafat: Filsafat Ilmu: Ordinary Thinking )    

Dengan demikian, hakikat ilmu tidak cukup hanya dengan sesuainya kepercayaan atau pernyataan dan realitas objek, tetapi juga harus berdasarkan metode ilmiah tertentu yang berpangkal pada skeptik, dan putusan itu merupakan keyakinan yang pasti. Metode analitik dengan ketiga kriteria ilmu menyangkut aspek ontologis, epistemologis, dan aksiologis yang diajukan Al-Ghazali.

1.      Ontologi Filsafat Ilmu Al-Ghazali

Esensi ontologi Al-Ghazali adalah Allah dan selain Allah. Ontologi filsafat ilmu Al-Ghazali tampak dari empat definisi mengenai ilmu yang dikemukakannya yaitu:

a.    Ilmu artinya adalah salinan (yang terhasilkan dalam mental subjek) yang sesuai dengan objek ilmu

b.    Ilmu adalah ketetapan zihn (akal) pada sesuatu dengan kepastian yang berdasarkan argumen bahwa ia begini atau bukan begini, dan kenyataan sesuatu itu demikian.

c.    ‘Alim (yang mengetahui) adalah rumusan tentang kalbu yang padanya salinan hakikat segala sesuatu bertempat, ma’lum (yang diketahui) adalah rumusan tentang hakikat segala sesuatu, dan ilmu adalah rumusan tentang terhasilkannya salinan objek itu pada cermin (kalbu) .... Sebab ilmu adalah rumusan tentang sampainya hakikat itu ke dalam kalbu.

d.   Ilmu adalah rumusan tentang pengambilan akal terhadap gambar-gambar objek akal dan kenyataannya pada dirinya, serta tercetaknya gambar-gambar itu pada akal.

Berdasarkan keempat asumsi dasar itu, Al-Ghazali mengklasifikasikan “ada” ke dalam empat kategori gradual yaitu: “ada hakiki”, “ada dalam mental subjek yang mengetahui” (yang menjelmakan gambar atau salinan), “ada dalam lafazh lisan” dan “ada dalam tulisan.”Menurutnya, ilmu merupakan sebuah sistem pernyataan ilmiah yang akhirnya bermuara pada konsepsi. Di sinilah diperlukan alat definisi dan argumen.


2.      Epistemologi Filsafat Ilmu Al-Ghazali

Al-Ghazali mengenal tiga sarana pokok bagi manusia untuk memperoleh ilmu, yaitu pancaindra (al-hawas al-khams) berikut khayal dan estimasi (wahm), akal, dan intuisi (dzauq). Pancaindra bekerja di dunia fisis-sensual, dan berhenti pada batas kawasan akal. Akal bekerja di kawasan abstrak dengan memanfaatkan input dari pancaindra melalui khayal dan wahm, dan berhenti pada kawasan tak terjangkau akal.


Ketiga sarana itu terlihat dari konsep Al-Ghazali mengenai struktur dan potensi-potensi jiwa manusia seperti dikemukakan di atas. Dalam konsep ini terlihat bahwa akal teoretis (‘alimah) merupakan inti hakikat manusia. 

Di satu pihak, ilmu yang terdapat pada akal teoretis itu menimbulkan motif (iradah), yang melalui akal praktis membangkitkan potensi diri (qudrah) untuk melahirkan gerak fisik. Di pihak lain ilmu muncul dari dua saluran, yaitu saluran luar, yakni wahm dan khayal dari pancaindra, dan saluran dalam, yakni ilham atau wahyu malaikat dari Allah.

Adapun cara mencapai ilmu menurut Al-Ghazali dijelaskan sebagai berikut. Ilmu yang muncul dalam qalbu manusia diperoleh dengan dua cara, yaitu daruri dan bukan daruri. Jenis pertama ada pada diri manusia sejak lahir secara potensial, tetapi baru muncul secara aktual ketika akal telah sempurna, dan ketika muncul salinan objek empiri-sensual dalam khayal yang dilihat akal. Jenis kedua muncul dengan dua cara, yaitu:
 a) tanpa diusahakan, seperti wahyu kepada nabi dan ilham kepada para wali, dan
 b) usaha langsung, baik berupa istidlal (mencari petunjuk), nazr (penalaran, penelitian dan kesimpulan), maupun ta’allum (belajar).


3.      Aksiologi Filsafat Ilmu Al-Ghazali

Dalam filsafat ilmu Al-Ghazali terdapat sedikitnya tujuh prinsip penerapan ilmu, yaitu:

1) prinsip objektivitas-kontekstualitas (namun tetap mempertimbangkan konteks sesuai tuntutan norma-norma etis-yuridis),
2) prinsip ilmu untuk amal dan kebahagiaan,
3) prinsip prioritas,
4) prinsip proporsionalitas,
 5) prinsip ikhlas,
 6) prinsip tanggung jawab moral dan profesional, dan
7) prinsip kerja sama ilmu dengan politik

Adapun strategi pengembangan ilmu Al-Ghazali mengandung prinsip sebagai berikut:

1) prinsip integralisme (baik terhadap ketiga pilar penyangga hakikat ilmu maupun terhadap disiplin-disiplin ilmu parsial),
2) prinsip trlilogi pengembangan ilmu (fakta/ontologis, metode/epistemologis, dan nilai etis-yuridis/aksiologis),
3) prinsip memperluas kawasan kemungkinan,
4) prinsip mengutamakan falsifikasi,
5) prinsip meminimalisasi pengkafiran dan memperluas rahmat, dan
6) prinsip substansialitas-utilitas.

Baca Juga bahasan  seputar filsafat ilmu: Filsafat Ilmu: Ordinary Thinking



Sumber Rujukan:
Buku:
Soebandi, Beni Ahmad. 2009 Filsafat Islam. Bandung :Pustaka Setia.
Bakker, Anton.1992.Ontologi, Epistemologi Umum. Kanisius
Website:














-
-
#pemikiranalghozali #filsafatalghozali #alghozali #ilmufilsafat #filsuf #filsafat alghozali #filsafat #imamalghozali #imamalghozali #alghozali #filsufmuslim #filsafatislam #pemikiranfilsafat #tugaskuliah #matkulfilsafat #filsafatislam #filsufislam #filsafatalghozali #ibnukhaldun #filsafatibnusina #filsafatibnukhaldun #imamalghozali #filsafatimamalghozali #materikuliahfilsafat #pemikiranfilsafat #materikuliah #materifilsafatterbaru #apkpenghasiluang #penghasiluang #resellermigunani 

0 Comments

Follow Me On Instagram